Selasa, 03 Agustus 2010

Reality Show Gantikan Dongengan

“ Saat senja perlahan mendekati/Mereka duduk di ruangan/televisi gantikan dongengan/
tidak pernah tau masa lalu ” (lagu : na,... na,.. na,.., Swami)
“ Gambar iklan jadi impian/akal sehat malah dikeluhkan ” (lagu : nocturno, Swami)

Seorang anak, kelas tiga SD, tetangga sebelah rumahku bercerita, tadi malam dia menonton reality show siaran sebuah stasiun tv swasta. Ceritanya tentang hantu, dan orang-orang yang di santet dan sebagainya. Selanjutnya reality show itu akan saya sebut saja, Udelgemblung, sebenarnya saya ingin istilahnya lebih kasar lagi, misalnya Kancut Setan, tapi jangan, itu cukup.
Baginya Udelgemblung adalah sebuah tayangan yang nyata. Sebagai mana diketahuinya dari orang-orang di sekitarnya termasuk orang tuanya, yang percaya tayangan Udelgemblung itu adalah kisah nyata. Tidak hanya dia orang-orang yang lebih dewasa di sekitar saya dengan semangat ketika mengobrol di pos kamling terkadang bercerita tentang si Udelgemblung ini.
Bahkan rekan sekerja, yang semuanya adalah orang berpredikat minimal Diploma 3, dengan muka khusu menyempatkan menonton tayangan ini. Parahnya mereka percaya dan menjadikannya bahan diskusi yang hangat. Berusaha membandingkan dengan kejadian di sekitar mereka, bertambah parah lagi tanpa usaha untuk introspeksi diri.
Kata-kata yang biasanya kuucapkan ketika nimbrung menonton “ Benar nggak sih begitu?”. Diartikan sebagai ancaman oleh mereka. Ancaman terhadap keyakinan mereka akan kebenaran cerita tersebut.
Apakah benar nyata, Reality seperti judulnya, atau justru lebih membodohi dari yang secara terang-terangan mengaku fiktif, seperti sinetron ; “ cerita ini hanya fiktif belaka kalau ada kesamaan nama dan tempat maka itu adalah kebetulan belaka ”?
Seandainya tayangan ini benar se-real yang diklaimnya, maka tetap tidak elok ketika di tayangkan pada jam yang disebut Prime time oleh televisi itu. Mengingat kemampuan untuk memfilter cerita sejenis ini masih sangat jauh panggang dari api bagi sebagian besar penonton pada jam tersebut.
Sepakat dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yang mengeluhkan tayangan Infotainment yang sudah melanggar batas-batas jurnalistik hingga tidak lagi bisa disebut dengan karya jurnalisme. Maka tayangan Udelgemblung ini pun seharusnya menjadi perhatian.
Begitu banyak sekarang tayangan Udelgemblung sejenis yang mengeksploitasi berbagai hal, kisruh rumah tangga, cerita misteri yang di dapat dari ujar dan katanya. Cerita yang dilebihi lebihkan dan tidak senyata yang di klaimnya. Kemudian berusaha di-nyata-kan dengan pemain pemain drama yang aktingnya lebih parah dari seekor kucing, seandainya kucing boleh berakting di televisi.
Ketika logika bisnis media dimasukkan dalam perdebatan ini, maka keluh kesah ini mutlak salah. Kenapa harus membatasi dan meragukan kemampuan penonton? Alasan bahwa “kami punya segmen yang di sasar”. Menjadi mutlak dan tak terbantahkan.
Kemudian jika ditanyakan pada saya, apa seharusnya yang ditayangkan oleh televisi yang mendidik tapi tetap mempunyai nilai jual? Maka saya dengan sangat malu harus mengatakan, saya tidak tahu. Saya tidak di didik dan berpengalaman mengenai hal itu. Tugas saya sekarang adalah menjaga moral dan etika murid-murid saya yang semuanya masih remaja, sebagai seorang Guru.
Kesulitan itu harus ditambah lagi dengan menjelaskan semua kebohongan bisnis media. Yang mereka pelototi lebih lama dari waktu belajar mereka di sekolah. Sebagian besar tanpa bimbingan dari orang tua mereka. Dalam pembicaraan santai antara guru dan murid, salah seorang dari mereka pernah berkata “ Tapi di TV itu kan........ Pa’? ” beughhhh......!?
Kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), kalau ini memang tugas anda, pertanyakanlah kebenaran semua tayangan Udelgemblung itu, atau kalau bukan tolong diperhatikan dan tugaskan kepada yang seharusnya. Tolong tegur mereka, seandainya melarang tidak bisa.
Kepada media saya minta tolong, kasihani kami. Jangan jadikan korban dari apa yang kau sebut bisnis itu. Ampunnnn pemerentah.......!!!!
Ada pepatah yang mengatakan : “Ini jaman edan, kalau tidak ikut edan tidak kebagian”, tidak sepakat ! Bagiku : Ini zaman edan, kalau ikut ikutan edan, mending mati saja.
Kepada yang bersedia membaca keluh kesah ini, mohon saran dan petunjuknya.

Tidak ada komentar: